Senin, 02 Juni 2014

Selamatkan Hutan Aceh


Selamatkan Hutan Aceh!

Selamatkan Hutan Aceh!

Hutan-hutan di Aceh sedang menunggu takdir kematian. Tutup tahun 2012, perusakan lingkungan terus terjadi. Kebakaran hutan dan lahan di Aceh pada tahun lalu menjadi yang terbesar dalam lima tahun terakhir. Hingga awal September 2012 telah terjadi 745 kali kebakaran hutan. Jumlah tersebut setara dengan 65 persen dari keseluruhan kejadian kebakaran hutan di Aceh mulai tahun 2007 hingga 2011 yang totalnya 1.129  kejadian (Walhi, 2012).
Kondisi perusakan lingkungan pun kini berada pada stadium yang mengkhawatirkan. Padahal kebijakan pendukung untuk mencegah dan mengendalikan kebakaran hutan dan lahan sudah tertulis. Hal tersebut telah termaktub dalam UU Nomor 41 Tahun 1999, PP Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, Permenhut Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan, dan Permen Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Kerusakan Lingkungan. Namun itu tak lebih hanya dipahami sebagai sebuah ‘slogan’  perawatan lingkungan oleh mereka yang sebenarnya telah berjiwa merusak.
Perusakan yang Mengancam
‘Genderang perang’ perusakan alam semakin ditabuh dan bertambah gemanya di beberapa hutan pedalaman di Aceh. Isu perusakan lingkungan seperti  illegal logging, perambahan hutan dan alih fungsi lahan tambang pun kian marak terjadi. Aksi tersebut telah menimbulkan konflik satwa dan manusia. Akibat ulah manusia tidak bertanggung jawab, alam pinjaman dari anak cucu serta kelangsungan hidupnya pun kini dipertaruhkan.
Penghancuran hutan gambut Rawa Tripa di Nagan Raya adalah salah satu bentuk ‘penyiksaan’ yang menyesakkan. Kawasan Rawa Tripa yang merupakan salah satu dari tiga hutan rawa yang berada di pantai barat pulau Sumatera ini dikenal dengan kekayaan jenis ikan dan hasil hutan non kayunya. Kekayaan ini kemudian secara tradisional dimanfaatkan masyarakat setempat sebagai sumber ekonomi keluarga dan sumber protein.
Namun wilayah dengan luas 61.803 hektar, kini pun mengalami kerusakan yang cukup parah. Menurut data yang dihimpun Walhi Aceh, ada empat perusahaan yang sudah menjadikan wilayah konsesi kelapa sawit di Rawa Tripa, yaitu PT. Astra Agro Lestari seluas 13.177 Ha, PT. Kalista Alam 6.888 Ha yang kini telah dicabut izin beroperasi, PT. Gelora Sawita Makmur 8.604 Ha dan PT. Cemerlang Abadi seluas 7.516 Ha. Padahal wilayah ini termasuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang telah ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional untuk pelestarian lingkungan hidup.
Tidak hanya di Nagan Raya, perusakan hutan di Seumelue pun mengalami kenaasan nasib yang sama. Menurut  data yang dimiliki Dinas Kehutanan, Perkebunan dan Holtikultura Aceh, sedikitnya sudah 30 hektar hutan mangrove di kabupaten Simeulue telah gundul (Waspada, 10/11/2012). Tidak berhenti di situ, keganasan  para perambah liar pun ikut menambah daftar ‘derita’ hutan dengan membangun lokasi bekas hutan bakau menjadi kebun plasma sawit. Padahal itu merupakan pesisir pantai yang berarus besar dan sering terjadi ombak hebat.
Kerusakan hutan di Aceh Singkil dan Subulussalam juga tidak tinggal diam. Tercatat, sejak 2006 hingga 2010, wilayah tersebut mengalami deforestasi mencapai sekitar 24.645 hektare (Serambi Indonesia, 16/11/2012). Belum lagi proyek pertambangan yang kian merajalela hingga mencapai 112 perusahaan dan mengeruk berbagai hasil tambang dan mineral di Aceh. Padahal industri ini telah berpuluh tahun membuktikan ketidakberpihakannya pada lingkungan dan masyarakat.
Berita teranyar tentang rencana ‘penjualan’ hutan karbon juga datang dengan begitu menyentakkan. Diam-diam Pemerintah Aceh juga mengikat perjanjian investasi dan lisensi bagi hasil 2,2, juta hektar hutan KEL dengan Forest Landscape Development Limited (FLD) yang berpusat di Inggris itu (Modus, 21-27/1). Maka keselamatan bumi pun terancam.
Membenahi Perilaku
Melihat wajah hutan Aceh hari, maka tidaklah mengerankan jika pada 2012 lalu, salah satu wilayah hutan penyangga Aceh di Aceh Tenggara harus menjadi tumbal untuk menuai ‘panen’ bencana berupa banjir yang tidak kurang dari tiga kali dalam setahun.  Selain itu, banjir pada musim hujan juga semakin mengancam masyarakat, terutama wilayah dengan luas tutupan hutan berkurang seperti Singkil, Subulussalam, Aceh Tenggara, Aceh Utara, dan Aceh Tamiang. Kenyataan itu pun kemudian semakin memaksa kita untuk melihat harapan hidup yang tinggal sepenggal.
Kini manusia telah menjadi predator utama perusak lingkungan. Semakin bertambahnya populasi manusia, maka perilaku yang berimbas pada kerusakan lingkungan juga sulit dielakkan. Ditambah lagi aktivitas dengan teknologi yang memperbesar hasil, maka seiring itu pula mempercepat proses kerusakan itu sendiri.
Hal ini disebabkan karena dinamika proses di alam tunduk pada hukum Thermodinamika yang menyatakan bahwa dalam proses perubahan energi tidaklah 100 persen effisien, sehingga selalu ada hasil samping yang terbuang. Masyarakat pun tampaknya sudah ‘beradaptasi’ dengan kerusakan tersebut dan terkesan apatis untuk merubahnya.
Padahal lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup serta perilakunya. Inilah yang harus dijaga keutuhan harmoninya. Hal tersebut akan mempengaruhi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Terbukti pengabaian terhadap pentingnya menjaga lingkungan, pada akhirnya berakibat timbulnya konflik sosial maupun konflik lingkungan. Hal itu seperti adanya ketimpangan struktur penguasaan serta masyarakat asli  yang berdomisili di wilayah sumber daya alam merasa ditelantarkan.
Eksploitasi SDA masih terlalu mengedepankan profit dari sisi ekonomi. SDA seharusnya digunakan untuk pembangunan demi mencapai kesejahteraan masyarakat. Kenyataannya, eksploitasi bahan tambang dan logging hanya menguntungkan sebagian elite. Aspek lingkungan hidup yang seharusnya diperhatikan banyak diabaikan. Fakta menunjukkan bahwa terjadi ketidakkeseimbangan antara ekonomi dan lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup masih belum mendapatkan porsi yang semestinya.
Membaca realitas di atas, maka perlu tindakan yang bijak dan juga tegas untuk mengelola kekayaan alam Aceh. Otonomi daerah yang telah ‘dimandatkan’  pada Pemerintah Aceh, perlu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya penerapan. Dalam hal ini, pemerintah daerah diberikan keistimewaan wewenang untuk mengatur sendiri daerahnya, termasuk bagaimana caranya mengelola kekayaan alam yang melimpah.
Kekayaan alam harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam yang adil, berkelanju­tan, dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara terkoordinasi, terpadu dan menampung dinamika, aspirasi dan peran serta masyarakat serta menye­lesaikan konflik (Noor, 2012).
Dalam pelaksanaan pembangunan di era Otonomi Daerah, pengelolaan lingkungan hidup tetap harus mengacu pada UU No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam melaksanakan kewenangannya diatur dengan Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom. Pelaksanaan otonomi daerah ini sangat perlu diterapkan agar kekayaan alam Aceh yang kita miliki, tidak beralih ke lain lumbung.
Otonomi Daerah, Bangunan Kesejahteraan
Kecenderungan sistem pemerintahan yang sentralistik yang menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan yang tidak begitu penting atau pinggiran, adalah alasan mengapa otonomi daerah perlu dilahirkan. Nyata terlihat bagaimana pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih pemerataan pembangunan. Aceh pun limbung dibuatnya dan menyisakan gurat wajah kemiskinan yang luar biasa. Dari itu, kemudian otonomi daerah menjadi tempat bagi harapan baru disandarkan, termasuk pengelolaan SDA secara tepat.
Pelaksanaan otonomi daerah yang dilandasi perubahan paradigma sentralisasi ke paradigma desentralisasi tidak hanya memperkuat otoritas pemerintah daerah serta menghasilkan kemajuan demokrasi di tingkat lokal, akan teta­pi juga pemberdayaan berkelanjutan baik pemerintah daerah provinsi, maupun pemerintah daerah kabupaten/kota (Noor, 2012). Termasuk pemberdayaan hutan sebagai salah satu lumbung kekayaan Aceh.
Namun, kewenangan yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan lingkungan tidak boleh dijadikan suatu kesempatan untuk mengeksploitasi alam secara brutal. Jangan hanya untuk mengejar Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sehingga hanya untuk hal yang jangka pendek investasi jangka panjang dikuras habis. Dalam hal ini, kesalahan bukan terletak pada otonomi daerahnya, tapi lebih kepada perilaku menyimpang pelaksananya.
Isran Noor dalam Politik Otonomi Daerah untuk Penguatan NKRI juga menyatakan bahwa, akselerasi peran pemerintah daerah dalam menjaga dan mempertahankan NKRI salah satunya adalah penguatan kelembagaan, organisasi dan manajemen bagi pemanfaatan sumber daya alam lokal.
Jika selama ini gangguan hutan diakibatkan kemiskinan masyarakat sekitarnya, maka upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat mutlak dilakukan sehingga ketergantungan terhadap hutan dan hasil hutan berkurang. Strategi pelestarian lingkungan dijalankan guna menjaga keseimbangan ekologi, teru­tama aktivitas budi daya di lahan kawasan lindung dan konservasi, serta mencegah eksploitasi sumber daya alam yang berpotensi destruktif terhadap lingkungan hidup.
Tuntutan peran optimal pemerintah daerah kini semakin kuat terutama dalam men­gelola ‘konflik-konflik agraria‘ yang menurut data Badan Pertanahan Nasional (2010) mencapai 8000 kasus. Gambaran ini menunjukkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kaya secara sumber daya material (raw material), namun tidaklah kaya secara penguasaan dan pengelolaan (Kaelani, 2008).
Padahal konstitusi sudah jelas-jelas mengamanatkan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945).” Untuk itu apapun alasannya, semua proses pembangunan yang dilakukan oleh negara termasuk dalam konteks kelestarian lingkungan harus bermuara pada kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, bukan kesejahteraan segelintir elit pejabat.
Akhirnya kita semua harus sadar, bahwa hutan Aceh merupakan “paru-paru dunia” sebagai penyumbang oksigen terbesar. Ibarat tubuh apabila paru-parunya rusak, maka kita hanya menunggu tinggalnya nama. Pebisnis Amerika David Brower mengatakan, “There is no business to be done on the death planet (kalau planet juga mati, maka apa yang bisa kita lakukan).”
Dari itu, pelaksanaan otonomi daerah yang dijalankan sesuai dengan jalur yang benar, perlu mendapat dukungan dari semua pihak. Kesejahteraan rakyat secara merata perlu dibangun tanpa menghalalkan aksi anarkis terhadap perusakan hutan. Kekayaan alam  Aceh harus dikelola secara bijak, sebelum takdir kematian itu merenggutnya. Kecuali jika kita ingin menambah daftar derita pilu negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar