Senin, 02 Juni 2014

Kerusakan Hutan di Aceh

Kerusakan Hutan di Aceh: Fakta Penyimpangan dan Solusinya
[Opini]
Kerusakan Hutan di Aceh: Fakta Penyimpangan dan Solusinya

Oleh Rusdianto Ismail

Illegal logging atau pembalakan hutan secara liar di Indonesia sudah sangat memprihatinkan, sehingga menjadi salah satu tindak pidana kehutanan yang menonjol dalam beberapa tahun terakhir bahkan menjadi sorotan dunia internasional. Diperkirakan kerugian yang ditimbulkan karena aksi pembalakan liar disinyalir mencapai Rp45 triliun per tahunnya dan hutan yang dijarah sekitar 3 juta hektar.

Berdasarkan perhitungan yang dilansir WWF-Bank Dunia, 78% kayu yang beredar dari hutan Indonesia berasal dari kegiatan illegal logging. Selanjutnya dinyatakan bahwa sebelumnya (2002) laju penyusutan hutan Indonesia mencapai dua juta hektar per tahun.

Upaya dan kebijakan untuk atasi kejahatan hutan
Sebenarnya berbagai upaya telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk memberantas tindak kejahatan ini, diantaranya melalui keberadaan Inpres No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Indonesia dengan menunjuk 18 instansi untuk menangani illegal logging. Masih banyaknya dijumpai kasus illegal logging di sejumlah daerah, mengindikasikan penanganannya belum mancapai hasil yang maksimal.
Menghadapi peliknya penanganan kasus illegal logging, praktisi hukum, Adnan Buyung Nasution, di tengah acara seminar \"Penanganan Tindak Pidana Kehutanan dan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Perspektif Tipikor\", di Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, tanggal 16 Juli 2007, melemparkan usulan agar para penikmat pembalakan hutan liar di jerat oleh Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Proses hukum harus dikenakan kepada semua pelaku, baik di lapangan maupun pelaku di luar pengusaha industri kehutanan, dalam hal ini oknum pegawai pemerintah yang menerima secara rutin uang suap sebagai imbalan untuk pemberian hak konsesi dan izin pemanfaatan hasil hutan. Selain itu, mengusulkan audit kehutanan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan BPK, meliputi audit seluruh perizinan yang sudah dikeluarkan dan berbagai aspek lainnya dalam bidang kehutanan baik di pusat maupun di daerah.
Langkah-langkah strategis penanganan kasus illegal logging yang diusulkan Bang Adnan Buyung Nasution tersebut, patut ditiru dalam penanganan kasus serupa di wilayah Aceh, terutama untuk melengkapi dan memback-up kebijakan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, Irwan Yusuf mengenai pemberlakukan moratorium logging (jeda tebang) yang ditetapkan sejak 6 Juni 2007.
Kebijakan moratorium logging dinilai tepat dan sangat diharapkan untuk mengatasi berbagai masalah terkait dengan konservasi sumber daya hutan, penghijauan kembali hutan Aceh dan pemberantasan illegal logging. Meski, pada kenyataannya kasus-kasus pembalakan hutan di Aceh masih sering terjadi.
Dalam hal ini, bagaimanapun sinyalemen minimnya koordinasi dalam penanganan illegal logging hendaknya disikapi secara bijak dan cerdas. Apalagi saat ini isu illegal logging tidak bisa dipisahkan dari kepastian hukum investasi terkait dengan sektor kehutanan, dan kenyataannya masyarakat di Aceh tidak bisa mengelak dari kebutuhannya terhadap kayu, terutama dalam kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami.

Fakta-fakta penyimpangan dalam praktik \'illegal logging\'
Sebelum jauh membahas upaya pemberantasan tindakan kejahatan hutan (illegal logging), terlebih dahulu kiranya perlu dipahami beberapa fakta yang ditemui seringkali terjadi dalam proses illegal logging, yakni meliputi kegiatan illegal processing dan illegal trade.
Dipahami bahwa illegal processing merupakan semua kegiatan proses lanjutan terhadap hasil tebangan secara illegal, terdiri dari: Pertama, hak kepemilikan, menguasai atau memiliki atau menyimpan kayu hasil tebangan secara illegal. Kedua, pergerakan kayu, meliputi kegiatan mengangkut atau mengeluarkan kayu dari kawasan hutan negara dari hasil curian. Ketiga, pengolahan kayu. Sementara, llegal trade merupakan proses lebih lanjut yang dapat memicu atau menjadi alasan kegiatan eksploitasi kayu secara illegal tetap berjalan, meliputi kegiatan perdagangan, penyelundupan, perizinan dan pelanggaran.
Sedangkan pihak-pihak yang terlibat di lapangan melibatkan suatu kerjasama secara terorganisasi dari beberapa elemen sebagai pelaku utama, yakni cukong sebagai pemilik modal, bisa berasal dari WNA, penguasa birokrasi atau pejabat; masyarakat setempat atau pendatang; pemilik pabrik moullding atau sawmill; pemegang izin HPH atau IPKH; dan oknum aparat keamanan.
Berbagai modus operandi kegiatan illegal logging terdiri dari kegiatan di hulu hutan dan di hilir hutan. Kegiatan di hulu hutan, meliputi: penebangan dilakukan tanpa izin dari pejabat berwenang; perbedaan kebijakan daerah tentang tata usaha kayu; penebangan dengan dilengkapi izin tetapi dilakukannya di luar area Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) atau izin lainnya yang sah; penebangan liar dengan melibatkan masyarakat setempat, tetapi digerakkan atau didanai oleh cukong; dan melibatkan oknum pejabat pemerintah/aparat sebagai backing atau sebagai koordinator kegiatan penebangan liar.
Sementara kegiatan di hilir hutan, meliputi: kayu yang tidak dilengkapi dengan dokumen SKSHH; kayu dilengkapi dengan dokumen palsu; muatan kayu secara fisik di kapal/truk tidak sesuai dengan yang tertera dalam dokumen SKSHH; memanfaatkan risalah lelang; SKSHH digunakan berulang-ulang dengan; menggunakan dokumen pengganti; dan kayu diselundupkan dengan dokumen palsu atau tanpa dokumen.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, dipandang kejahatan hutan tersebut sangat berbahaya dan bahkan lebih berbahaya dibandingkan pelaku korupsi, karena kejahatan hutan berakibat langsung terhadap keselamatan jiwa manusia. Namun demikian, tampaknya perhatian terhadap masalah kerusakan hutan tidak sebesar perhatian terhadap korupsi. Kondisi ini juga sebagai salah satu pemicu maraknya illegal logging.
Dari catatan beberapa relawan dan LSM pemerhati masalah hutan bahwa kerusakan hutan, berakibat terjadinya tanah longsor dan banjir di wilayah Aceh sudah merata di sejumlah wilayah, seperti Aceh Singkil, Aceh Tamiang, Aceh Utara, Bireuen, Pidie, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Simeulide, Aceh Selatan dan Aceh Tengah. Sementara kerusakan hutan akibat eksploitasi yang membabi buta, telah mengakibatkan kerusahan hutan dalam sehari mencapai dua kali lapangan sepak bola atau setara dengan 20,796 hektar.
Seandainya kejahatan hutan tersebut tidak melibatkan pemilik modal besar (cukong), back up dari oknum birokrat atau aparat keamanan dan rendahnya kredibilitas penegakan hukum serta adanya jaringan lintas negara, sangat mungkin penyelesaiannya tidak serumit yang dihadapi. Namun demikian, tidak ada istilah menyerah dalam memerangi kejahatan hutan di Aceh, yang penting aparat birokrasi dan aparatur keamanan di daerah tetap pada komitmennya untuk tidak lagi berkompromi atau menjadi \"Satpam hutan\" yang hanya menguntungkan kepentingan penjahat atau perusak hutan.

----------------------
Rusdianto Ismail, pemerhati masalah lingkungan dan hutan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar