Senin, 02 Juni 2014

Ancaman Kerusakan Hutan Di Sumatera Semakin Meningkat

East Asia Mining Dibalik Rencana Alih Fungsi Hutan Lindung Aceh

Ekspansi Bukit Asam

Hutan yang dirusak di wilayah lahan gambut, Kuala Tripa di Nagan Raya, Aceh

Kondisi hutan di Bukit Tigapuluh

Masyarakat Agroforestri Indonesia

Negara Dirugikan Ratusan Triliun Akibat Perambahan Hutan

Pembangunan jalan di Aceh yang membelah hutan hingga mengancam kerusakan lingkungan dan memutus koridor satwa.

Setelah terjadinya musibah banjir bandang, dalam kurun waktu empat tahun kondisi hutan Aceh Tamiang terus mengalami kerusakan 10 sampai 15 persen dari luas hutan yang tersisa.

Shampoo Ancaman Bagi Kelestarian Hutan

Sidang lanjutan gugatan perdata yang diajukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup terhadap sebuah perusahaan penebangan yang beroperasi di Riau

tamiang-di-ambang-bencana-rusaknya-hutan-aceh

Kerusakan Hutan Bakau Kian Meluas

Kerusakan Hutan Bakau Kian Meluas
PANTAI KUPANG Kondisi pantai kupang atau muaranya sungai air masin yang area nya gundul sehingga mengakibatkan abrasi mencapai puluhan meter di kawasan lindung penghijauan mangrove Lubuk Damar, Seruway. (medanbisnis/ck05)
MedanBisnis - Aceh Tamiang. Kerusakan kawasan hutan bakau (mangrove) di wilayah Kabupaten Aceh Tamiang yang berbatasan dengan Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, kian meluas. Pantai Kupang di pesisir Kampung Lubuk Damar, Kecamatan Seruway, mengalami abrasi sepanjang puluhan meter.
Pantai Kupang yang berlokasi di sekitar Lubuk Damar, menurut monitoring Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari) mengalami abrasi mencapai 80 meter. Padahal di tempat itu program Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Aceh Tamiang sudah banyak menyerap dana APBK dan APBN.

"Bukti sejarah relokasi warga sekaligus berpindahnya Desa Kuala Peunaga di Kecamatan Bendahara sudah tiga kali, karena abrasi pantai. Seharusnya itu menjadi pelajaran berharga bagi Dishutbun dan pemerintah daerah untuk mencegah maraknya perusakan mangrove secara sporadic," kata Direktur Eksekutif LemAHtari, Sayed Zainal MSH, Minggu (8/9) di Kualasimpang.

Menurutnya, ada empat kecamatan yakni Seruway, Bedahara, Bandamulia dan Manyak Payed yang kawasan mangrovenya semakin kritis. Sebab, kata Sayed, dari luas sekitar 22.500 hektare diperkirakan hanya tersisa 30%.

Selain kawasan hutan produksi, bekas hamparan tambak di masa lalu juga telah beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit. Dalam lima tahun terakhir, perusakan hutan bakau dan alih fungsi secara sporadis dan sistemik terjadi sehingga berdampak hijrahnya tempat usaha nelayanan tradisional, teracam punahnya biota laut akibat pencemaran limbah pupuk dan pabrik sawit pada musim tertentu.

Dia menyebutkan, berdasarkan investigasi LambAHtari, kini perusakan kawasan lindung mangrove menuju wilayah Sungai Kuruk, Kampung Tanjung Binjai, Cinta Raja, Matang Speng, Bandar Khalifah dan Tanjung Kramat, Kecamatan Bendahara. Di mana alih fungsi lahan secara ilegal dan membabibuta oleh perusahaan agaknya mendapat pembiaran Dishutbun Aceh Tamiang.

Dan somasi LembAHtari tertanggal 14 Januari 2013 sampai saat ini tidak ada tindakan berupa pengamanan dan penghentian. Tindakan yang dilakukan Pemkab Aceh Tamiang bersama unsur Muspida hanyalah tinjauan lapangan, membuat surat teguran penghentian. "Namun entah kepada siapa imbauan itu diberikan," ujar aktivis bidang kehutanan tersebut.

Untuk itu LembAHtari mengingatkan kepada bupati dan Kadishutbun agar mempuyai komitmen kuat sesuai perundang-undangan. LembAHtari menyampaikan perlunya audit sosial terhadap masalah perusakan kawasan pesisir dan program-program yang dilakukan Dishutbun, dan meminta pertanggungjawaban mantan bupati serta bupati yang sedang menjabat saat ini terhadap kerugian negara di sektor kehutanan. (ck 05)

Data Hutan Aceh Berbeda-Beda

Data Hutan Aceh Berbeda-Beda
Firman Hidayat | The Globe Journal
Kamis, 28 Juli 2011 00:00 WIB
Banda Aceh — Minimnya dana penelitian yang disupport oleh Pemerintah Aceh mengakibatkan data base tentang kondisi dan kerusakan hutan di Aceh tidak akurat dan berbeda-beda. Hal itu dikatakan oleh Dr. Izarul Machdar dari Unsyiah Climate Change Group Discussion (UCCGD) kepada The Globe Journal, Kamis (28/7) usai diskusi masalah perubahan iklim di Aceh yang berlangsung di Aula ICAIOS Darussalam siang tadi. 

Dia mengatakan perencanaan harus dimulai dengan data. Kalau datanya berbeda-beda maka perencanaan juga tidak tersusun dengan baik. Khusus di Aceh ini harus ada satu referensi tempat melakukan output data tentang kondisi dan kerusakan serta soal keluasan hutan. “Kalau banyak lembaga atau organisasi yang memiliki uang membuat survey hutan di Aceh sudah pasti data yang dihasilkan berbeda dengan punya pemerintah,” kata Izarul.

Dia mencotohkan data BRR tahun 2008 menyebutkan luas wilayah daratan Aceh meliputi 55.400 km2 (5.54 juta ha) dimana 60,22 persen atau 3,34 juta ha adalah hutan. Sedangkan hutan lindung sebanyak 55 persen,  hutan konservasi 25 persen dan hutan produksi 20 persen. 

Kemudian data hutan dari Yayasan Lauser International (YLI) saat ini di Aceh terdapat sekitar 2,2 juta ha yang merupakan hutan lindung dan selama ini dijadikan sebagai paru-paru dunia.

Data luas kawasan hutan di Provinsi Aceh berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 170/Kpts-II/2000, tanggal 29 Juni 2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Aceh menyebutkan luas hutan lindung mencapai 1.844.500 ha, hutan produksi terbatas 37.300 ha dan hutan produksi tetap sebanyak 601.280 ha. 

 “Masih belum ada data yang akurat dari ketiga sumber data itu,”kata Dosen Teknik Kimia Unsyiah ini. 

Sedangkan data kerusakan hutan juga berbeda-beda. Menurutnya seperti yang dikutip dari pernyataan Wakil Gubenur Aceh, Muhammad Nazar tahun 2008 lalu bahwa Aceh kehilangan kawasan hutan akibat penerbangan liar rata-rata mencapai seluas 900 hektar. Sehingga total kerusakan hutan Aceh pertahun hingga 32.000 hektar. 

Kemudian Greenomic tahun 2009 juga menyebutkan data kerusakan hutan Aceh dari April 2005 - April 2009, total selama empat tahun sebanyak 163.000 ha atau sekitar 40.000 ha hutan yang rusak pertahun. 

Dari total 1,8 juta hektar luasan hutan lindung di Aceh, seluas 13.486 ha dilaporkan dalam kondisi rusak, yang terjadi selama kurun waktu 3 tahun (2006-2009). Data ini bersumber dari  Working Group Analysis Hutan Aceh 2010 yang beranggotakan Sekretariat Aceh Green, Dinas Kehutanan Aceh, Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL), Fauna & Flaura Internasional (FFI), dan Yayasan Leuser International (YLI).

Sedangkan Walhi Aceh juga mencatat data kerusakan hutan Aceh hingga 23.000 hektar pertahun. Dalam proposal REDD yang diajukan FFI Aceh Programme disebutkan untuk kerusakan Hutan Ulu Masen hanya 9.630 hektar pertahun.

Ia menambahkan seharusnya Pemerintah Aceh menjadi satu referensi yang tepat dan akurat sebagai sumber data, tapi karena minimnya dana penelitian dari pemerintah sehingga banyak data yang berbeda-beda,” terang Izarul lagi dengan harapan database hutan di Aceh harus dibuat oleh pemerintah. 

TATA RUANG ACEH

Pembukaan Lahan Hutan Aceh untuk Kepentingan Bisnis

Masyarakat madani beri tekanan pada para pemangku kepentingan. Hutan Aceh sebagai aset Bumi, harus diselamatkan.

penebangan hutan,hutan,acehSisa-sisa hutan yang masih tersisa di Aceh, pembukaan areal perkebunan dan pertambangan telah membuat hutan Aceh terus menyusut dari tahun ke tahun, antara tahun 1980 hingga 2008, luas hutan Aceh telah berkurang hingga 914.422 hektar dari total luas 5.675.850 hektar. (Junaidi/Fotokita.net)
Masih terdapat banyak perdebatan tentang perlindungan hutan Aceh dari Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang bakal bermuara deforestasi. Masyarakat madani memberi tekanan pada para pemangku kepentingan dengan harapan dapat menyelamatkan hutan Aceh sebagai aset Bumi.
Atas dasar itulah, koalisi masyarakat kembali mengadakan dialog publik "Selamatkan Hutan Aceh", Senin (22/4) dalam momentum peringatan Hari Bumi Sedunia 2013. "Kami mengharapkan Gubernur Aceh membatalkan niat mengubah dari RTRW yang lama ke RTRW baru ini," jelas Usman Hamid, aktivis ChangeOrg Indonesia.
Menurut Usman, dalam kasus RTRW Aceh sangat ada peluang penyalahgunaan wewenang bagi kepentingan politik. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas yang ikut membuka acara ini mengungkapkan, banyak penebangan hutan juga terjadi karena pembiaran pemerintah terkait masalah perizinan ilegal sejumlah korporat.
"Hutan adalah sumber daya alam yang mampu membebaskan rakyat dari perbudakan, kelaparan, ketakutan, dan kemiskinan," kata Busyro.
Setelah diteliti lebih jauh, pembukaan 1,2 juta hektare area hutan dialokasikan untuk berbagai kepentingan bisnis, dan hanya sekitar satu persen (14.704 ha) yang dialokasikan bagi warga. Meskipun Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, di sebuah kesempatan terpisah pada hari yang sama, membantah hal itu. Menhut tidak sepakat mengenai jumlah luasan hutan 1,2 juta hektare.
"Saya tidak tahu dari mana asalnya angka tersebut. Yang jelas masyarakat daerah Aceh sekarang menginginkan sekali ada pertumbuhan ekonomi, supaya mereka bisa mengejar ketertinggalan dari daerah-daerah lain di Sumatra. Maka sekadar diajukan revisi tata ruang bagi lahan seluas 150.000 hektare, yang akan disetujui mungkin sekitar 130.000 hektare," ujar Zulkifli.
pinus,aceh,bukit,takengonPohon pinus terlihat asri dan tumbuh di atas kemiringan gunung kawasan Takengon, Aceh Tengah, Namun sayang, sebagian besar hutan lindung yang ditumbuhi pinus itu banyak telah terbakar. (Joniful Bahri/Fotokita.net)
Tokoh Muhammadiyah Aceh Tengku Imam Syuja, memandang kalau semestinya agenda prioritas untuk mensejahterakan masyarakat Aceh yang 60 persennya masyarakat pedesaan dengan optimalkan lahan produksi yang telah ada ketimbang membuka lahan baru.
"Pemerintah bisa memfasilitasi mereka, terutama yang tinggal di sekitar hutan, meningkatkan lahan garapan. Sehingga dalam waktu lima tahun terakhir, pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Gubernur Zaini Abdullah dan Wakil Muzakir Manaf dapat memperbaiki kualitas hidup masyarakat di pedesaan," katanya lagi.
Elfian Effendi dari Greenomics mengatakan, jika rancangan RTRW benar-benar disahkan, akan terjadi risiko bencana. Elfian pun mendukung yang disampaikan oleh Busyro. "Perhutanan di Aceh butuh kehadiran lembaga negara. Kewajiban Gubernur dan Menhut juga menangani persoalan izin-izin ilegal yang terbit," tambahnya.
Salah seorang pemuda asal Aceh Barat Daya, Aceh, Muhammad Ade (22), mengaku dampak pengurangan hutan Aceh langsung dapat dirasakan oleh masyarakat setempat.
"Sangat merasakan. Terjadi banjir besar. Sebelumnya belum pernah terjadi banjir sebesar itu," Muhammad bertutur. Bahkan saat ini, dengan eksisnya konsesi-konsesi logging, perkebunan sawit, dan tambang, kualitas udara dan (untuk wilayah tertentu) air sudah menurun.
Ia meminta pemerintah juga memikirkan bagaimana pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat yang bergantung hidup pada hutan, jangan menghasilkan suatu kebijakan tanpa melihat aspek sosial.
(Gloria Samantha)

Selamatkan Hutan Aceh


Selamatkan Hutan Aceh!

Selamatkan Hutan Aceh!

Hutan-hutan di Aceh sedang menunggu takdir kematian. Tutup tahun 2012, perusakan lingkungan terus terjadi. Kebakaran hutan dan lahan di Aceh pada tahun lalu menjadi yang terbesar dalam lima tahun terakhir. Hingga awal September 2012 telah terjadi 745 kali kebakaran hutan. Jumlah tersebut setara dengan 65 persen dari keseluruhan kejadian kebakaran hutan di Aceh mulai tahun 2007 hingga 2011 yang totalnya 1.129  kejadian (Walhi, 2012).
Kondisi perusakan lingkungan pun kini berada pada stadium yang mengkhawatirkan. Padahal kebijakan pendukung untuk mencegah dan mengendalikan kebakaran hutan dan lahan sudah tertulis. Hal tersebut telah termaktub dalam UU Nomor 41 Tahun 1999, PP Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, Permenhut Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan, dan Permen Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Kerusakan Lingkungan. Namun itu tak lebih hanya dipahami sebagai sebuah ‘slogan’  perawatan lingkungan oleh mereka yang sebenarnya telah berjiwa merusak.
Perusakan yang Mengancam
‘Genderang perang’ perusakan alam semakin ditabuh dan bertambah gemanya di beberapa hutan pedalaman di Aceh. Isu perusakan lingkungan seperti  illegal logging, perambahan hutan dan alih fungsi lahan tambang pun kian marak terjadi. Aksi tersebut telah menimbulkan konflik satwa dan manusia. Akibat ulah manusia tidak bertanggung jawab, alam pinjaman dari anak cucu serta kelangsungan hidupnya pun kini dipertaruhkan.
Penghancuran hutan gambut Rawa Tripa di Nagan Raya adalah salah satu bentuk ‘penyiksaan’ yang menyesakkan. Kawasan Rawa Tripa yang merupakan salah satu dari tiga hutan rawa yang berada di pantai barat pulau Sumatera ini dikenal dengan kekayaan jenis ikan dan hasil hutan non kayunya. Kekayaan ini kemudian secara tradisional dimanfaatkan masyarakat setempat sebagai sumber ekonomi keluarga dan sumber protein.
Namun wilayah dengan luas 61.803 hektar, kini pun mengalami kerusakan yang cukup parah. Menurut data yang dihimpun Walhi Aceh, ada empat perusahaan yang sudah menjadikan wilayah konsesi kelapa sawit di Rawa Tripa, yaitu PT. Astra Agro Lestari seluas 13.177 Ha, PT. Kalista Alam 6.888 Ha yang kini telah dicabut izin beroperasi, PT. Gelora Sawita Makmur 8.604 Ha dan PT. Cemerlang Abadi seluas 7.516 Ha. Padahal wilayah ini termasuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang telah ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional untuk pelestarian lingkungan hidup.
Tidak hanya di Nagan Raya, perusakan hutan di Seumelue pun mengalami kenaasan nasib yang sama. Menurut  data yang dimiliki Dinas Kehutanan, Perkebunan dan Holtikultura Aceh, sedikitnya sudah 30 hektar hutan mangrove di kabupaten Simeulue telah gundul (Waspada, 10/11/2012). Tidak berhenti di situ, keganasan  para perambah liar pun ikut menambah daftar ‘derita’ hutan dengan membangun lokasi bekas hutan bakau menjadi kebun plasma sawit. Padahal itu merupakan pesisir pantai yang berarus besar dan sering terjadi ombak hebat.
Kerusakan hutan di Aceh Singkil dan Subulussalam juga tidak tinggal diam. Tercatat, sejak 2006 hingga 2010, wilayah tersebut mengalami deforestasi mencapai sekitar 24.645 hektare (Serambi Indonesia, 16/11/2012). Belum lagi proyek pertambangan yang kian merajalela hingga mencapai 112 perusahaan dan mengeruk berbagai hasil tambang dan mineral di Aceh. Padahal industri ini telah berpuluh tahun membuktikan ketidakberpihakannya pada lingkungan dan masyarakat.
Berita teranyar tentang rencana ‘penjualan’ hutan karbon juga datang dengan begitu menyentakkan. Diam-diam Pemerintah Aceh juga mengikat perjanjian investasi dan lisensi bagi hasil 2,2, juta hektar hutan KEL dengan Forest Landscape Development Limited (FLD) yang berpusat di Inggris itu (Modus, 21-27/1). Maka keselamatan bumi pun terancam.
Membenahi Perilaku
Melihat wajah hutan Aceh hari, maka tidaklah mengerankan jika pada 2012 lalu, salah satu wilayah hutan penyangga Aceh di Aceh Tenggara harus menjadi tumbal untuk menuai ‘panen’ bencana berupa banjir yang tidak kurang dari tiga kali dalam setahun.  Selain itu, banjir pada musim hujan juga semakin mengancam masyarakat, terutama wilayah dengan luas tutupan hutan berkurang seperti Singkil, Subulussalam, Aceh Tenggara, Aceh Utara, dan Aceh Tamiang. Kenyataan itu pun kemudian semakin memaksa kita untuk melihat harapan hidup yang tinggal sepenggal.
Kini manusia telah menjadi predator utama perusak lingkungan. Semakin bertambahnya populasi manusia, maka perilaku yang berimbas pada kerusakan lingkungan juga sulit dielakkan. Ditambah lagi aktivitas dengan teknologi yang memperbesar hasil, maka seiring itu pula mempercepat proses kerusakan itu sendiri.
Hal ini disebabkan karena dinamika proses di alam tunduk pada hukum Thermodinamika yang menyatakan bahwa dalam proses perubahan energi tidaklah 100 persen effisien, sehingga selalu ada hasil samping yang terbuang. Masyarakat pun tampaknya sudah ‘beradaptasi’ dengan kerusakan tersebut dan terkesan apatis untuk merubahnya.
Padahal lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup serta perilakunya. Inilah yang harus dijaga keutuhan harmoninya. Hal tersebut akan mempengaruhi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Terbukti pengabaian terhadap pentingnya menjaga lingkungan, pada akhirnya berakibat timbulnya konflik sosial maupun konflik lingkungan. Hal itu seperti adanya ketimpangan struktur penguasaan serta masyarakat asli  yang berdomisili di wilayah sumber daya alam merasa ditelantarkan.
Eksploitasi SDA masih terlalu mengedepankan profit dari sisi ekonomi. SDA seharusnya digunakan untuk pembangunan demi mencapai kesejahteraan masyarakat. Kenyataannya, eksploitasi bahan tambang dan logging hanya menguntungkan sebagian elite. Aspek lingkungan hidup yang seharusnya diperhatikan banyak diabaikan. Fakta menunjukkan bahwa terjadi ketidakkeseimbangan antara ekonomi dan lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup masih belum mendapatkan porsi yang semestinya.
Membaca realitas di atas, maka perlu tindakan yang bijak dan juga tegas untuk mengelola kekayaan alam Aceh. Otonomi daerah yang telah ‘dimandatkan’  pada Pemerintah Aceh, perlu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya penerapan. Dalam hal ini, pemerintah daerah diberikan keistimewaan wewenang untuk mengatur sendiri daerahnya, termasuk bagaimana caranya mengelola kekayaan alam yang melimpah.
Kekayaan alam harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam yang adil, berkelanju­tan, dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara terkoordinasi, terpadu dan menampung dinamika, aspirasi dan peran serta masyarakat serta menye­lesaikan konflik (Noor, 2012).
Dalam pelaksanaan pembangunan di era Otonomi Daerah, pengelolaan lingkungan hidup tetap harus mengacu pada UU No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam melaksanakan kewenangannya diatur dengan Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom. Pelaksanaan otonomi daerah ini sangat perlu diterapkan agar kekayaan alam Aceh yang kita miliki, tidak beralih ke lain lumbung.
Otonomi Daerah, Bangunan Kesejahteraan
Kecenderungan sistem pemerintahan yang sentralistik yang menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan yang tidak begitu penting atau pinggiran, adalah alasan mengapa otonomi daerah perlu dilahirkan. Nyata terlihat bagaimana pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih pemerataan pembangunan. Aceh pun limbung dibuatnya dan menyisakan gurat wajah kemiskinan yang luar biasa. Dari itu, kemudian otonomi daerah menjadi tempat bagi harapan baru disandarkan, termasuk pengelolaan SDA secara tepat.
Pelaksanaan otonomi daerah yang dilandasi perubahan paradigma sentralisasi ke paradigma desentralisasi tidak hanya memperkuat otoritas pemerintah daerah serta menghasilkan kemajuan demokrasi di tingkat lokal, akan teta­pi juga pemberdayaan berkelanjutan baik pemerintah daerah provinsi, maupun pemerintah daerah kabupaten/kota (Noor, 2012). Termasuk pemberdayaan hutan sebagai salah satu lumbung kekayaan Aceh.
Namun, kewenangan yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan lingkungan tidak boleh dijadikan suatu kesempatan untuk mengeksploitasi alam secara brutal. Jangan hanya untuk mengejar Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sehingga hanya untuk hal yang jangka pendek investasi jangka panjang dikuras habis. Dalam hal ini, kesalahan bukan terletak pada otonomi daerahnya, tapi lebih kepada perilaku menyimpang pelaksananya.
Isran Noor dalam Politik Otonomi Daerah untuk Penguatan NKRI juga menyatakan bahwa, akselerasi peran pemerintah daerah dalam menjaga dan mempertahankan NKRI salah satunya adalah penguatan kelembagaan, organisasi dan manajemen bagi pemanfaatan sumber daya alam lokal.
Jika selama ini gangguan hutan diakibatkan kemiskinan masyarakat sekitarnya, maka upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat mutlak dilakukan sehingga ketergantungan terhadap hutan dan hasil hutan berkurang. Strategi pelestarian lingkungan dijalankan guna menjaga keseimbangan ekologi, teru­tama aktivitas budi daya di lahan kawasan lindung dan konservasi, serta mencegah eksploitasi sumber daya alam yang berpotensi destruktif terhadap lingkungan hidup.
Tuntutan peran optimal pemerintah daerah kini semakin kuat terutama dalam men­gelola ‘konflik-konflik agraria‘ yang menurut data Badan Pertanahan Nasional (2010) mencapai 8000 kasus. Gambaran ini menunjukkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kaya secara sumber daya material (raw material), namun tidaklah kaya secara penguasaan dan pengelolaan (Kaelani, 2008).
Padahal konstitusi sudah jelas-jelas mengamanatkan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945).” Untuk itu apapun alasannya, semua proses pembangunan yang dilakukan oleh negara termasuk dalam konteks kelestarian lingkungan harus bermuara pada kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, bukan kesejahteraan segelintir elit pejabat.
Akhirnya kita semua harus sadar, bahwa hutan Aceh merupakan “paru-paru dunia” sebagai penyumbang oksigen terbesar. Ibarat tubuh apabila paru-parunya rusak, maka kita hanya menunggu tinggalnya nama. Pebisnis Amerika David Brower mengatakan, “There is no business to be done on the death planet (kalau planet juga mati, maka apa yang bisa kita lakukan).”
Dari itu, pelaksanaan otonomi daerah yang dijalankan sesuai dengan jalur yang benar, perlu mendapat dukungan dari semua pihak. Kesejahteraan rakyat secara merata perlu dibangun tanpa menghalalkan aksi anarkis terhadap perusakan hutan. Kekayaan alam  Aceh harus dikelola secara bijak, sebelum takdir kematian itu merenggutnya. Kecuali jika kita ingin menambah daftar derita pilu negeri ini.

Kerusakan Hutan di Aceh

Kerusakan Hutan di Aceh: Fakta Penyimpangan dan Solusinya
[Opini]
Kerusakan Hutan di Aceh: Fakta Penyimpangan dan Solusinya

Oleh Rusdianto Ismail

Illegal logging atau pembalakan hutan secara liar di Indonesia sudah sangat memprihatinkan, sehingga menjadi salah satu tindak pidana kehutanan yang menonjol dalam beberapa tahun terakhir bahkan menjadi sorotan dunia internasional. Diperkirakan kerugian yang ditimbulkan karena aksi pembalakan liar disinyalir mencapai Rp45 triliun per tahunnya dan hutan yang dijarah sekitar 3 juta hektar.

Berdasarkan perhitungan yang dilansir WWF-Bank Dunia, 78% kayu yang beredar dari hutan Indonesia berasal dari kegiatan illegal logging. Selanjutnya dinyatakan bahwa sebelumnya (2002) laju penyusutan hutan Indonesia mencapai dua juta hektar per tahun.

Upaya dan kebijakan untuk atasi kejahatan hutan
Sebenarnya berbagai upaya telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk memberantas tindak kejahatan ini, diantaranya melalui keberadaan Inpres No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Indonesia dengan menunjuk 18 instansi untuk menangani illegal logging. Masih banyaknya dijumpai kasus illegal logging di sejumlah daerah, mengindikasikan penanganannya belum mancapai hasil yang maksimal.
Menghadapi peliknya penanganan kasus illegal logging, praktisi hukum, Adnan Buyung Nasution, di tengah acara seminar \"Penanganan Tindak Pidana Kehutanan dan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Perspektif Tipikor\", di Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, tanggal 16 Juli 2007, melemparkan usulan agar para penikmat pembalakan hutan liar di jerat oleh Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Proses hukum harus dikenakan kepada semua pelaku, baik di lapangan maupun pelaku di luar pengusaha industri kehutanan, dalam hal ini oknum pegawai pemerintah yang menerima secara rutin uang suap sebagai imbalan untuk pemberian hak konsesi dan izin pemanfaatan hasil hutan. Selain itu, mengusulkan audit kehutanan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan BPK, meliputi audit seluruh perizinan yang sudah dikeluarkan dan berbagai aspek lainnya dalam bidang kehutanan baik di pusat maupun di daerah.
Langkah-langkah strategis penanganan kasus illegal logging yang diusulkan Bang Adnan Buyung Nasution tersebut, patut ditiru dalam penanganan kasus serupa di wilayah Aceh, terutama untuk melengkapi dan memback-up kebijakan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, Irwan Yusuf mengenai pemberlakukan moratorium logging (jeda tebang) yang ditetapkan sejak 6 Juni 2007.
Kebijakan moratorium logging dinilai tepat dan sangat diharapkan untuk mengatasi berbagai masalah terkait dengan konservasi sumber daya hutan, penghijauan kembali hutan Aceh dan pemberantasan illegal logging. Meski, pada kenyataannya kasus-kasus pembalakan hutan di Aceh masih sering terjadi.
Dalam hal ini, bagaimanapun sinyalemen minimnya koordinasi dalam penanganan illegal logging hendaknya disikapi secara bijak dan cerdas. Apalagi saat ini isu illegal logging tidak bisa dipisahkan dari kepastian hukum investasi terkait dengan sektor kehutanan, dan kenyataannya masyarakat di Aceh tidak bisa mengelak dari kebutuhannya terhadap kayu, terutama dalam kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami.

Fakta-fakta penyimpangan dalam praktik \'illegal logging\'
Sebelum jauh membahas upaya pemberantasan tindakan kejahatan hutan (illegal logging), terlebih dahulu kiranya perlu dipahami beberapa fakta yang ditemui seringkali terjadi dalam proses illegal logging, yakni meliputi kegiatan illegal processing dan illegal trade.
Dipahami bahwa illegal processing merupakan semua kegiatan proses lanjutan terhadap hasil tebangan secara illegal, terdiri dari: Pertama, hak kepemilikan, menguasai atau memiliki atau menyimpan kayu hasil tebangan secara illegal. Kedua, pergerakan kayu, meliputi kegiatan mengangkut atau mengeluarkan kayu dari kawasan hutan negara dari hasil curian. Ketiga, pengolahan kayu. Sementara, llegal trade merupakan proses lebih lanjut yang dapat memicu atau menjadi alasan kegiatan eksploitasi kayu secara illegal tetap berjalan, meliputi kegiatan perdagangan, penyelundupan, perizinan dan pelanggaran.
Sedangkan pihak-pihak yang terlibat di lapangan melibatkan suatu kerjasama secara terorganisasi dari beberapa elemen sebagai pelaku utama, yakni cukong sebagai pemilik modal, bisa berasal dari WNA, penguasa birokrasi atau pejabat; masyarakat setempat atau pendatang; pemilik pabrik moullding atau sawmill; pemegang izin HPH atau IPKH; dan oknum aparat keamanan.
Berbagai modus operandi kegiatan illegal logging terdiri dari kegiatan di hulu hutan dan di hilir hutan. Kegiatan di hulu hutan, meliputi: penebangan dilakukan tanpa izin dari pejabat berwenang; perbedaan kebijakan daerah tentang tata usaha kayu; penebangan dengan dilengkapi izin tetapi dilakukannya di luar area Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) atau izin lainnya yang sah; penebangan liar dengan melibatkan masyarakat setempat, tetapi digerakkan atau didanai oleh cukong; dan melibatkan oknum pejabat pemerintah/aparat sebagai backing atau sebagai koordinator kegiatan penebangan liar.
Sementara kegiatan di hilir hutan, meliputi: kayu yang tidak dilengkapi dengan dokumen SKSHH; kayu dilengkapi dengan dokumen palsu; muatan kayu secara fisik di kapal/truk tidak sesuai dengan yang tertera dalam dokumen SKSHH; memanfaatkan risalah lelang; SKSHH digunakan berulang-ulang dengan; menggunakan dokumen pengganti; dan kayu diselundupkan dengan dokumen palsu atau tanpa dokumen.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, dipandang kejahatan hutan tersebut sangat berbahaya dan bahkan lebih berbahaya dibandingkan pelaku korupsi, karena kejahatan hutan berakibat langsung terhadap keselamatan jiwa manusia. Namun demikian, tampaknya perhatian terhadap masalah kerusakan hutan tidak sebesar perhatian terhadap korupsi. Kondisi ini juga sebagai salah satu pemicu maraknya illegal logging.
Dari catatan beberapa relawan dan LSM pemerhati masalah hutan bahwa kerusakan hutan, berakibat terjadinya tanah longsor dan banjir di wilayah Aceh sudah merata di sejumlah wilayah, seperti Aceh Singkil, Aceh Tamiang, Aceh Utara, Bireuen, Pidie, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Simeulide, Aceh Selatan dan Aceh Tengah. Sementara kerusakan hutan akibat eksploitasi yang membabi buta, telah mengakibatkan kerusahan hutan dalam sehari mencapai dua kali lapangan sepak bola atau setara dengan 20,796 hektar.
Seandainya kejahatan hutan tersebut tidak melibatkan pemilik modal besar (cukong), back up dari oknum birokrat atau aparat keamanan dan rendahnya kredibilitas penegakan hukum serta adanya jaringan lintas negara, sangat mungkin penyelesaiannya tidak serumit yang dihadapi. Namun demikian, tidak ada istilah menyerah dalam memerangi kejahatan hutan di Aceh, yang penting aparat birokrasi dan aparatur keamanan di daerah tetap pada komitmennya untuk tidak lagi berkompromi atau menjadi \"Satpam hutan\" yang hanya menguntungkan kepentingan penjahat atau perusak hutan.

----------------------
Rusdianto Ismail, pemerhati masalah lingkungan dan hutan

Rimbawan Aceh